Mati Jiwa

Assalamualaikum wbt

Entah macam mana, kecelaruan otak melanda malam ini. Maka saya duduk membaca di bawah meja sekali lagi. Sampai satu tahap, otak sudah terlalu tepu. Saya capai keluar buku sajak saya.

Ah, sudah! Otak pula mengeras. Saya menyedari hal ini sejak sebulan lebih yang lalu. Beberapa buah sajak yang saya tulis dalam tempoh ini semuanya tidak berjiwa. Sajak yang berjiwa itu bagi saya ialah sajak yang boleh membuatkan saya sendiri rasa terkesan. Kadang-kadang boleh menangis dan boleh juga tersenyum seorang. Macam orang sedang perasan tu.

Nampaknya, akan terkuburlah satu hajat saya kali ini. Tak mengapalah. Mungkin memang tiada rezeki untuk kali ini. Saya tidak akan menyuarakan sesuatu yang bukan datang dari jiwa. Terasa palsu. Dan berlakon. Dan menipu. Jadi, baik tidak diluahkan apa-apa. Nanti jadi cacat sungguh bunyinya.

Nota 1: Kaklong saya menyukai blog ini. Poskadkeheaven. Unik kan.  Dia menyarankan saya membacanya. Katanya, tulisannya pendek. Maksud pun jelas. Bagi saya, penulisnya buat kita rasa hendak bercinta. Tapi bahaya juga. Bukan semuanya sudah bersedia. Ajaibnya, penulisnya seorang lelaki. Saya tabiklah pada encik itu. Bahasanya sungguh penuh dengan gula dan madu dan halwa dan manisan dan hati dan jiwa dan cinta. 🙂

Nota 2: Jumaat dah ni. Selawat, selawat.

Posted on March 6th, 2009 by Sarah  |  19 Comments »

Resmi Hidup

Assalamualaikum wbt

Saya sengaja menyelongkar entri lama di blog lama saya. Saya hendak mencari sajak yang saya kongsikan di situ pada Disember 2007. Kenapa saya ingat ia entri Disember 2007? Sebab ada satu pelajaran hidup yang saya belajar dalam bulan itu. Sajak ini sudah lama saya tulis. Sebelum berlakunya peristiwa yang mengajar diri itu lagi.Saya kira ketika saya menlis sajak ini dulu, ada sesuatu yang saya baru belajar daripada kehidupan pada waktu itu. Jadi saya abadikan dalam bentuk sebuah sajak nasihat begini.

Resmi Hidup

Kalau di hulu sungai ribut laut terasa
padamkanlah pelita kejap
biar suram gelap
tapi terbakar tidak.

Kalau runtuh tanah yang berbukit
pasangkanlah tiang pondok
bertahan mungkin sehari saja
tapi jangan robohnya sekelip mata.

Kalau ada api yang marak panas
lari jauh-jauh, duduk diam-diam
sungguhpun api terpadam tidak
tapi sudah jinak dan hidang abu hitam.

Kalau ada hati dihulur dikongsi
jangan ambil seluruh, simpanlah separuh
terima dengan luhur dan akal
biar kenal budi, baru dikongsi kasih.

Tetapi saya kira saya silap. Saya teralpa dan pengajaran yang saya dapati dulu entah di mana saya cicirkan. Manusia tidak pernahnya lari dari masalah lupa dan alpa. Jadi saya kongsikan sajak ini di sini sekali lagi supaya andai saya lupa lagi, ada yang sudi mendekati untuk menyentap saya kembali.

Nota 1: Bagi yang tak memahami/menghargai sajak/sastera, paling habis jangan mengutuk. Masih ramai lagi yang memahami nilai dan pengajaran yang disampaikan melalui sajak. Kalau rasa memberi nasihat cara ini adalah kuno, saya rasa orang yang berkata tu tak jelas tentang etika dan nilai bahasa. Saya memang Melayu di Moscow. Saya bukan Melayu di Aussie. Yang penting saya tahu menghargai seni bahasa kita dan kiasan nasihat yang terkandung di dalamnya. Ada saya susahkan orang?

Nota 2: Ignorant~

Posted on February 11th, 2009 by Sarah  |  15 Comments »

Siapa Melayu

(I)
Lelaki Melayu itu
yang berbaju melayu segak
butangnya lima
agamanya hebat
kerjanya kuat
sifatnya berani
hemahnya tinggi
mahirnya berbudi.

Yang cakap dan benar
yang tutur dan buat
yang janji dan kota.

Maka disempurnakan sebuah kehidupan
dibekalkan mereka pelengkap keindahan.

(II)
Gadis Melayu itu
yang berbaju kurung
butangnya satu
bajunya lurut
kainnya labuh
rambut hitam
sinarnya di dalam.

Yang sifatnya malu
santunnya sipu
senyumnya lembut
tuturnya ilmu
langkahnya gagah
tak mudah mengalah.

Maka diindahkan sebuah kehidupan
dibekalkan mereka untuk menyempurnakan.

(III)
Siapa itu Melayu
bukan kiranya pada belacu
adalah sutera taruhan budi
tatapan sejagat insani.

Sarah Mohd Shukor
Moscow City, RF
28 Mei 2008

Assalamualaikum wbt

Sajak ini saya tulis di pertengahan tahun lalu. Alhamdulillah, sajak ini (dan sebuah lagi sajak saya) telah dibukukan dalam sebuah Antologi Puisi 50 Penulis Luar Negara berjudul Bahasa Bumi pada bulan Ogos lalu.

Sajak ini ada seruan. Mengajak kita menjadi Melayu yang utuh Islamnya. Bukan sekadar Melayu pada namanya. Supaya nanti orang bertanya siapa itu Melayu, kita tak tersipu-sipu malu nak mengaku diri kitalah Melayu. Melayu yang Islam. Yang zahir pada luaran kita dan diserikan kemelayuan dan keislaman kita itu pada akhlak kita.

Nota 1: Alangkah indahnya Malaysia kita jika pemimpin kita yang Melayu sempurna Melayu dan Islamnya. Fikir dalam-dalam. Jangan kata saya racist. Tidak. Saya sangat terbuka dengan konsep berbilang kaum. Dapat makan limau percuma. Ke kedai mamak makan tosai dan macam-macam lagi. Tiadalah ini semua di tempat lain kan. Cuma bila kita berdiri atas nama Melayu semata-mata, kita terlupa tentang kaum lain. Tapi bila kita berdiri atas agama, kita sedar agama kita luas cabangnya dan toleransilah salah satu daripadanya.

Nota 2: Jawa, Banjar, Minang, Kampar semua tu pun dari rumpun Melayu juga ye 🙂

Posted on February 7th, 2009 by Sarah  |  48 Comments »